SELAMAT UNTUK GARUDA JAYA U-19 YANG MEMBUNGKAM KORSEL 3-2 DALAM LAGA AFC CUP GRUP G

Jumat, 24 Mei 2013

Maraknya "Money Politic" di Pilkades Sudah Tradisi?


warga menunjukkan uang pada pilkades (sumber foto : google)

Madura, Lintas Madura (23/05/2013)- Pelaksanaan pilkades di beberapa tempat di Madura bulan-bulan ini boleh dibilang mulus dari segi pelaksanaannya. Namun, kualitas pilkades sangat jauh dari tatanan demokrasi ideal. Hal ini diindikasikan dari pelaksanaan Pilkades yang akan dihelat atau yang masih akan digelar sarat dengan praktik money politik.

Calon kades dengan terang-terangan atau terbuka melakukan praktik money politik.  Menurut pengamatan pegiat Lembaga Pemantau Pemilu MaSDev, Hayaturrahman, praktik jual beli suara pada pilkades sangat kentara dan bahkan dilakukan di tempat terbuka sambil melakukan mobilisasi massa pendukungnya " ini bukan lagi sembunyi-sembunyi, tetapi sangat terbuka dilakukan, seakan tidak ada yang menyalahkan, sudah tradisi, seolah merupakan hal yang semestinya dilakukan", terangnya.

"Money Politik" Bisa Perlebar Korupsi Baru
Praktik money politik di arena pilkades bisa memperlebar dan menciptakan korupsi dan koruptor baru. "Calon mengeluarkan biaya tidak sedikit untuk nyalon ditambah dengan uang untuk menyuap warga pemilih, artinya calon berambisi untuk jadi kades. Iming-imingnya tentu adalah kesempatan untuk meraup keuntungan materi ketika berkuasa demi mengembalikan modal yang telah dikeluarkan sebelumnya" tegas Rahman

Ia menambahkan,  sampai saat ini belum ada lembaga atau orang yang bisa mengawasi dan kemudian memberikan sanksi ketika ada calon melakukan praktik money politik. " yang terjadi kan seolah memang legal money politik itu. Harus diproses seperti apa, dimana, oleh siapa, kan tidak ada", tambahnya

Orang Miskin Tidak Boleh Nyalon 
Sementara menurut pegiat Lembaga Kajian Agama dan Demokrasi (LeKAD) Madura, Imam, Praktik maraknya money politik dan biaya pilkades yang besar semakin menjebak masyarakat dan bangsa pada pola dan perilaku " demokrasi kapitalistik". Pemilihan kepala desa yang dihelat menimbulkan pernyataan bahwa orang yang potensial di desa, tapi miskin tidak boleh nyalon kades. "sepertinya memang benar sebuah pernyataan bahwa yang jadi pemimpin itu tidak boleh dari orang miskin, yang tidak punya uang meskipun dia potensi ya minggir, ini kan praktik demokrasi ala kapitalis" terang mantan aktivis PMII ini.

Perlu  Regulasi Komprehensif tentang Pilkades
Kalau hal ini dibiarkan, tidak hanya akan merusak tatanan demokrasi yang sehat dan bersih, juga akan menimbulkan disintegrasi sosial di tingkatan desa. Untuk itu pihaknya mendesak pada pihak terkait untuk membuat regulasi yang menyeluruh tentang pelaksanaan pemilihan kepala desa. Bahwa pelaksanaan Pilkades harus ditanggung pemerintah melalui penganggaran di APBDes, seperti halnya pemilihan umum legislatif, bupati atau walikota, gubernur, dan presiden. " Persoalannya, kenapa pemilu bisa dianggarkan di APBN, sementara Pilkades yang langsung bersentuhan dengan masyarakat masih harus ditanggung calon biaya pelaksanaannya", tambahnya.

Pihaknya juga mendesak ke depan agar dibuat regulasi atau aturan yang terkait dengan penyelesaian konflik pilkades. " kalau ada sengketa di pilkades misalnya, lembaga apa dan siapa yang berhak menangani. Saya kira perlu aturan yang jelas seperti halnya pemilu", terangnya.

Pelaksanaan pilkades di Madura di helat mulai awal bulan ini dan akan berakhir akhir bulan dengan sistem bertahap serentak. (tim/lm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda