warga menunjukkan uang pada pilkades (sumber foto : google)
Madura, Lintas Madura (23/05/2013)- Pelaksanaan pilkades di beberapa tempat di Madura bulan-bulan ini boleh dibilang mulus dari segi pelaksanaannya. Namun, kualitas pilkades sangat jauh dari tatanan demokrasi ideal. Hal ini diindikasikan dari pelaksanaan Pilkades yang akan dihelat atau yang masih akan digelar sarat dengan praktik money politik.
Calon kades dengan terang-terangan atau terbuka melakukan praktik money politik. Menurut pengamatan pegiat Lembaga Pemantau Pemilu MaSDev, Hayaturrahman, praktik jual beli suara pada pilkades sangat kentara dan bahkan dilakukan di tempat terbuka sambil melakukan mobilisasi massa pendukungnya " ini bukan lagi sembunyi-sembunyi, tetapi sangat terbuka dilakukan, seakan tidak ada yang menyalahkan, sudah tradisi, seolah merupakan hal yang semestinya dilakukan", terangnya.
"Money Politik" Bisa Perlebar Korupsi Baru
Praktik money politik di arena pilkades bisa memperlebar dan menciptakan korupsi dan koruptor baru. "Calon mengeluarkan biaya tidak sedikit untuk nyalon ditambah dengan uang untuk menyuap warga pemilih, artinya calon berambisi untuk jadi kades. Iming-imingnya tentu adalah kesempatan untuk meraup keuntungan materi ketika berkuasa demi mengembalikan modal yang telah dikeluarkan sebelumnya" tegas Rahman
Ia menambahkan, sampai saat ini belum ada lembaga atau orang yang bisa mengawasi dan kemudian memberikan sanksi ketika ada calon melakukan praktik money politik. " yang terjadi kan seolah memang legal money politik itu. Harus diproses seperti apa, dimana, oleh siapa, kan tidak ada", tambahnya
Orang Miskin Tidak Boleh Nyalon
Sementara menurut pegiat Lembaga Kajian Agama dan Demokrasi (LeKAD) Madura, Imam, Praktik maraknya money politik dan biaya pilkades yang besar semakin menjebak masyarakat dan bangsa pada pola dan perilaku " demokrasi kapitalistik". Pemilihan kepala desa yang dihelat menimbulkan pernyataan bahwa orang yang potensial di desa, tapi miskin tidak boleh nyalon kades. "sepertinya memang benar sebuah pernyataan bahwa yang jadi pemimpin itu tidak boleh dari orang miskin, yang tidak punya uang meskipun dia potensi ya minggir, ini kan praktik demokrasi ala kapitalis" terang mantan aktivis PMII ini.
Perlu Regulasi Komprehensif tentang Pilkades
Kalau
hal ini dibiarkan, tidak hanya akan merusak tatanan demokrasi yang
sehat dan bersih, juga akan menimbulkan disintegrasi sosial di tingkatan
desa. Untuk itu pihaknya mendesak pada pihak terkait untuk membuat
regulasi yang menyeluruh tentang pelaksanaan pemilihan kepala desa.
Bahwa pelaksanaan Pilkades harus ditanggung pemerintah melalui
penganggaran di APBDes, seperti halnya pemilihan umum legislatif, bupati
atau walikota, gubernur, dan presiden. " Persoalannya, kenapa pemilu
bisa dianggarkan di APBN, sementara Pilkades yang langsung bersentuhan
dengan masyarakat masih harus ditanggung calon biaya pelaksanaannya",
tambahnya.
Pihaknya juga mendesak ke depan agar dibuat
regulasi atau aturan yang terkait dengan penyelesaian konflik pilkades. "
kalau ada sengketa di pilkades misalnya, lembaga apa dan siapa yang
berhak menangani. Saya kira perlu aturan yang jelas seperti halnya
pemilu", terangnya.
Pelaksanaan pilkades di Madura di helat mulai awal bulan ini dan akan berakhir akhir bulan dengan sistem bertahap serentak. (tim/lm)